Friday, June 20, 2008

Kotak Pandora

Aku pergi dulu..!teriakku nyaring, sambil berjalan keluar menuju mobil Hyundai Matrix yang kuparkir di garasi samping rumah. Anjing Labrador kesayangan papiku sedang duduk bermalasan-malasan dekat pintu. Kutepuk kepalanya dengan lembut. Dia mulai menggonggong sambil mengoyang-goyangkan ekornya, seakan-akan berkata selamat jalan.

Papi yang sedang duduk di teras depan menaruh koran yang sedang dibacanya, berjalan keluar dan membantuku membukakan pintu pagar. Di sudut halaman, mami sedang asyik menyirami anggrek-anggreknya. Begitulah rutinitas pagi ketika aku mau berangkat bekerja.

Semoga hari ini menyenangkan, kataku dalam hati sambil membelokkan mobil kearah jalan raya. Mami selalu berpesan untuk berhati-hati. Maklumlah aku tinggal di Cinere sementara tempat kerjaku di Bogor, dekat kampus IPB yang kearah Sindang Barang Jero.
Jaraknya lumayan. Kurang lebih 35 km dari rumah. Perlu waktu satu setengah jam untuk sampai dikantor melalui Jalan Maruyung, Sawangan, Perumahan Arco, Jalan Parung lalu Semplak.

Lagu “Cantik” dari Kahitna terdengar lembut dari Radio Sonora, membuatku bersenandung riang mengikuti irama. Aku harus perlahan-lahan menjalankan mobilku karena di daerah Maruyung jalannya sempit dan hanya cukup untuk dua mobil. Laju kendaraan terhambat, karena kendaraan dari dua arah sangat padat. Huh…! Macet lagi! Ada apa sih? Kenapa sampai ngga bisa jalan begini! Sungutku kesal.

Perlahan arus kendaraan mulai bergerak lagi. Aachh! Rupanya ada galian disebelah kanan jalan. Tanah galian hanya ditumpuk membuat jalan makin sempit saja. Kendaraan benar-benar hanya dapat berjalan sangat perlahan. Goblok!! Pekikku tiba-tiba ketika sebuah motor melaju dari arah gang kecil tanpa melihat-lihat dulu. Aku tekan rem mendadak. Kalau tidak mobilku pasti akan menabrak dia. Sementara itu, si pengendara motor memacu motornya tanpa menoleh, seakan tidak terjadi apa-apa. Dengan perasaan masih kesal aku kembali menjalankan mobil.

Rasanya aku ngga sabar untuk segera dapat melewati jalan Maruyung ini. “Gila!!” sekarang aku melihat dua buah bus pariwisata besar sedang melaju perlahan dari arah yang berlawanan. Bisa dibayangkan kemacetan yang akan timbul. Pasti luar biasa. Huh..! Kubuang lagi nafasku kuat-kuat dengan harap hembusannya dapat mengurangi kedongkolan yang ada dihati ini. Benar saja, sebentar kemudian terdengar bunyi klakson yang besahut-sahutan ketika bus tersebut tidak bisa bergerak. Kendaraan dari arah ku pun berhenti total.

Bisa kalian bayangkan, pagi hari yang indah jadi berantakan. Setelah berhenti 20 menit lebih kulihat ada seorang polisi dating membantu mengatur lalu lintas sehingga perlahan-lahan arus kendaraan dapat bergerak lagi. Kasihan polisi itu, pasti dia stress berat apalagi menghadapi pengendara motor yang tidak pernah mau bersabar mengantri. Akibat ulah mereka kemacetan semakin menjadi-jadi. Bruk..! tiba-tiba kaca spion kiriku tertabrak sebuah motor. Pengendara itu dengan cueknya pergi begitu saja tanpa kata maaf. Bodoh! Teriakku, kali ini rasanya tambah kesal.

Beberapa saat kemudian, lolos juga aku dari jalan sempit itu. Sekarang aku berbelok kearah Sawangan. Untuk menghilangkan kekesalan, ku nyalakan tape radioku dan mendengarkan suara Nina Warna. Mobilku melaju dengan lancer. Hatiku mulai riang kembali.

“Mulus…!” Kataku ketika sampai di Semplak. Hhmmm sebentar lagi sampai kantor. Tapi tiba-tiba muncul sebuah angkot dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. “Goblok!! Nga lihat jalan ya!” Teriakku, ketika angkot hampir saja menabrak mobilku.

Gimana sih mereka itu? Masa dari pagi ini selalu ada saja, hampir menabrak dan juga hampir ditabrak. Keriangan yang aku rasakan mendadak sirna begitu saja. Sepanjang sisa perjalanan ke kantor aku mengemudi sambil bersunggut-sunggut kesal.

Senyuman selamat pagi yang kuperoleh dari Pak Satpam di depan gerbang kantor masih belum bisa menghilangkan kekesalan hatiku. Perlahan kuparkir mobilku dibawah kerindangan pohon. Perlahan semilir angin dan rasa sejuk mulai menerpa. “Hai! Pagi Tasya,” kata Mba Ambar salah seorang teman yang bekerja sebagai sekretaris dikantor. Pagi, jawabku sambil mencoba tersenyum dan berjalan kearah gedung tempat ruangan kerjaku.

“Fuih..!” akhirnya aku hempaskan pantat di kursi ruang kerja. Kunyalakan komputer sambil membuka botol air dan meminum beberapa tegukan. Rina teman yang duduk di depanku menegur dengan senyum riangnya. Rin, tau ngga tadi aku kesal sekali karena banyak kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan padahal masih pagi. Terus kamu mau seharian ini diisi dengan rasa kesal? Sudah lupakan saja. Cheer up dunk!

“Huh!” Kepukul keningku perlahan, benar juga kata Rina. Aku mulai menyadari ternyata hari ini aku sudah membuka “kotak Pandora” yang seharusnya terkunci rapat. Ingatkan cerita “kotak Pandora”? Itu loh, kotak terlarang yang isinya segala keburukan yang ada “kebencian, kedengkian, kemarahan, kesakitan, kesedihan dan semua yang membuat manusia sengsara. Ketika kotak itu dibuka untuk kedua kalinya yang tertinggal dan keluar dari kotak itu adalah “pengharapan”.

“Come on…Tasya!” “Cheer up!” Kamu sudah membuka kotak itu dengan kemarahan, kejengkelan dan kekesalan dari pagi. Bukalah lagi kotak itu, saat ini dengan “pengharapan” agar sisa hari ini diisi dengan kebahagiaan. Berharap agar mulus tanpa ada kesulitan-kesulitan yang berarti.

Wednesday, June 18, 2008

Light Your Day with Knitting!

“Wah sudah jam 12 lebih,” pekikku. Padahal aku janji mau ketemu teman jam 12.30 di gedung sebelah untuk belajar knitting. Knitting dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti merajut. Terburu-buru aku ke cafeteria. Masih ada waktu buat mengisi perut yang sejak tadi sudah berteriak minta diisi.

Syukurlah, hari ini cafeteria tidak terlalu ramai seperti hasi-hari biasanya. Setelah pesan ayam goreng, sayur pucuk labu dan segelas jus jambu biji, aku makan cepat-cepat. Tak sempat aku nikmati gurihnya ayam goreng hari ini. Manisnya jus jambu juga tak sempat lama mengendap di kerongkonganku. Selesai…! sorakku, sampai-sampai teman yang duduk di kursi sebelah tertawa. “Mau ketemu pacar ya, sampai-sampai ngebut begitu makannya”. Aku tersenyum ringan sambil berkata, “Mau belajar knitting nich, jadi buru-buru, takut gurunya ngambek.”

Dengan mafas masih terengah-engah aku sampai di ruangan Cece. “Hai Ce, jam 12.30 tepat nich,” kataku tersenyum riang. Cece adalah temanku yang bekerja dibagian adminitrasi. Dia menguasai berbagai teknik knitting. Dia juga sudah memiliki banyak jam terbang membimbing para pemula, pemula yang berminat belajar knitting tapi hanya bekal semangat.

Cece balas tersenyum dan mengajak aku melihat sebuah buku knitting untuk pemula. Dia juga menunjukkan berbagai jenis benang wol warna warni dan jarum aneka ukuran.

Pelajaran pertama adalah cara memegang jarum. Jarum aktif disebelah kanan. Yang kiri untuk membantu jika ingin mengaitkan benang. Ada dua teknik knitting: menusuk jarum dari atas benang dan dari bawah benang. “Tusukkan jarum yang ditangan kanan dari atas benang, lalu kaitkan benang ke jarum dengan bantuan jarum yang di kiri, lalu tarik benangnya,” begitulah petunjuk yang diberikan Cece.

Langkah selanjutanya adalah mengaitkan benang yang satu ke benang yang lainnya, sehingga membentuk barisan yang sama dan rapi. Sesekali Cece menertawakan kekakuan gerakan tanganku. Dengan serius dia bilang kalau kegiatan ini lumayan juga buat persiapan pensiun nanti. Kadang dia mengomentari caraku mengaitkan benang dan meminta aku tidak lupa menghitung jumlah kaitan yang telah dibuat supaya tidak kesulitan membuat baris kedua.

Waktu 30 menit terlewatkan sudah. Aku berhasil membuat 4 baris kaitan benang dengan panjang kurang lebih 15 cm. Rasanya senang sekali walaupun hasilnya tidak seperti yang aku bayangkan. Tenyata sulit dan perlu kesabaran tinggi untuk bisa mengait-ngaitkan benang. Apalagi untuk menjadi syal yang indah, seperti dalam bayanganku. Setelah mengucapkan terimakasih untuk pelajaran hari ini, aku pamit balik ke ruanganku.

Sesaat aku sudah berada di luar ruangan dan segera melangkah menuju koridor yang menghubungkan gedung dimana Cece dengan gedung ruanganku. Aku melangkah tak tergesa dan mencoba menikmati hembusan angin dari arah pepohonan di sebelah kanan. Tiba tiba aku merasakan sesuatu yang lain. Kenapa koridor yang sudah sering aku lewati selama 8 tahun bekerja di kantor ini sekarang terasa berbeda? Aku merasa seperti baru pertama aku lewat di sini? Apa yang berbeda? Hatiku mulai bertanya-tanya dan mencoba mencari jawaban. Apakah karena aku sedang gembira karena tadi aku belajar knitting? Ataukah sekedar karena berjalan tak tergesa, berusaha menikmati waktu, dan meresapi perasaan yang ada? Entahlah.

Aku sampai di ruanganku. Rasa riang itu masih ada di dalam dadaku. Dengan perasaan itu aku kembali memulai perkejaanku – bergelut dengan angka – sesuatu yang biasanya terasa membosankan.

Tak kukira, aku sangat menikmati untaian setiap angka yang ada di layar komputerku, menghitung, mengurang, mengerjakan semuanya dengan teliti, seakan mengikuti suatu urutan imajiner, seperti ketika aku belajar knitting tadi.

Ternyata belajar knitting ada gunanya juga. Knitting tidak seharusnya identik dengan kerjaan nenek-nenek. Dengan knitting aku belajar bersabar, melangkah pelan-pelan, menghitung dengan tepat, dan menikmati kesulitan yang ada sampai akhirnya bisa menghasilkan “syal” yang indah.

Hari itu aku sangat menikmati pekerjaan yang biasanya terasa membosankan itu. Dan sepertinya waktu di kantor tidak akan bisa mengikatku lagi. Kerjaan yang menumpuk diatas meja juga bukan alasan untuk membuat aku tertekan. Hari itu, setelah aku belajar knitting, aku merasakan kerja itu membahagiakan.

Tuesday, June 17, 2008

Hidup Ini Indah

Seorang teman pernah berkata, "Andai aku dapat memohon agar hidupku sempurna, kemungkinan itu sangat menggiurkan. Tapi aku akan merasa hampa karena hidup tak lagi mengajariku apapun."

Tidak seorang pun di dunia ini menginginkan hidup penuh kegetiran. Tak ada yang mau hidup dalam penderitaan terus menerus. Tak kutolak akupun termasuk salah satunya. Hidup aman, nyaman, tenteram, adalah dambaan kita semua.

Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja seringkali kita salah tafsir ketika gelombang penderitaan menerpa, kita mengeluh. Ketika sakit, kita menyalahkan Tuhan yang mendatangkan sakit. Ketika hal-hal menyakitkan datang tak henti merobek hati kita, kita bertanya dimana keadilan. Di sisi lain, kita sering lupa. Keindahan pencapaian baru terasa setelah mendaki gunung tinggi. Kita harus menyelam ke laut terdalam untuk menemukan kerang terbaik. Kadang kita harus tak lelah bertanya bila berharap menemukan jawaban.

Torehan duri di kaki akan menjadi penambah nikmat pencapaian puncak tertinggi. Baretan karang menjadi saksi abadi penemuan dasar terdalam. Semua luka mengajari makna. Makna perjuangan hidup. Aku tidak menyesal aku tidak memperoleh kemudahan dalam hidup. Sebaliknya, aku berharap semoga aku tetap dapat menikmati segenap ketidaksempurnaan ini.